39 Kisah Berdamai dengan Pandemi
Saya membaca buku “Berdamai
dengan Pandemi” ini di kereta yang akan mengantarkan saya ke Sidoarjo, tempat Musyawarah Kerja BPP FLP
diadakan. Sudah menjadi kebiasaan kalau ngetrip, saya selalu membawa buku, apalagi
kalau naik kereta dan perjalanannya lebih dari 10 jam.
Buku “Berdamai dengan
Pandemi” ini merupakan kumpulan kisah dari anggota FLP Jepang saat corona
melanda negeri yang menjadikan yen sebagai mata uangnya.
Ada 25 penulis yang berbagi
cerita, bagaimana mereka menghadapi pandemi dengan berbagai latar belakang dan
sudut pandang yang berbeda.
Uniknya, di setiap awal bab disertakan ilustrasi yang mewakili salah satu cerita atau lebih dari setiap tema. Ada juga halaman interaktif yang bisa digunakan pembaca untuk mengabadikan momen-momen kenangan selama pandemi, serta perubahan yang terjadi sebelum corona datang ke new normal.
Ada 8 bab dalam buku ini
1. Mengatasi kecemasan
Lansia di Panti Jompo
Cerita ini ditulis oleh Kak
Nurul yang berprofesi sebagai perawat di roujin
ho-mu (panti jompo).
Beliau berkisah tentang kecemasan
yang dialami lansia karena jam kunjungan keluarga dihapuskan dan kegiatan outdoor
ditiadakan selama pandemi. Bisa dibayangkan ya, perasaan mereka. Biasanya ada
keluarga yang berkunjung dan berbagi cerita atau ada kegiatan berkebun,
jalan-jalan, mendadak semuanya dihilangkan.
Untungnya Kak Nurul tidak
kehilangan ide. Dia mencari cara agar para lansia masih bisa berkomunikasi
dengan keluarga. Akhirnya Kak Nurul mengajak para lansia untuk ber-video call
dengan keluarga. Nah, berhubung beberapa lansia
mengalami gangguan pendengaran, mereka merasa kesal karena tidak dapat
mendengar suara dengan jelas. Alhasil Kak Nurul harus mengulang kata-kata yang
disampaikan. Kebayang repotnya ya. Cara lain yang digunakan Kak Nurul adalah Mado Guchi (lewat jendela). Jadi, kalau
ada keluarga yang kangen, pertemuan
tatap muka bisa dilakukan, tapi harus dibatasi dengan jendela. Menarik ya 😀
2. Mimasaka “gajah”-ku
Cerita dengan judul cukup
unik ini ditulis oleh Kak Eka Kurnia Sari.
Kak Eka sudah bertekad untuk
meng-ekplore semua tempat wisata
selama dia berada di Jepang. Hampir tiap bulan Kak Eka menjelajahi kota-kota
menarik seorang diri atau bersama teman-temannya. Awal 2020, ketika Coronoa
menyerang Jepang, Kak Eka masih sempat mengunjungi Osaka dan Kobe. Selanjutnya,
dia harus puas berdiam di rumah. Hal ini tentu saja membuatnya bete dan bosan.
Namun akhinya Kak Eka
menyadari kalau daerah tempat tinggalnya (Kota Mimasaka di prefecture Okayama) juga memiliki
tempat-tempat yang indah, seperti perkebunan strawberry dan anggur, kuil
Shinto dengan air terjunnya yang indah, serta gunung yang aman didaki dan
mempunyai jalur khusus.
Kak Eka merasa bahwa selama
ini merasa kurang peka dengan daerah tempat tinggalnya. Rupanya peribahasa “Gajah
di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak, benar adanya. Ga
perlu jauh-jauh untuk mencari tempat wisata. Cukup berjalan beberapa langkah, tempat dengan view cantik bisa ditemui. Kak Eka yakin masih banyak
“gajah” yang akan ia temui selama pandemi
di Jepang.
3. Jajan bersama, menggendut bersama.
“Berhati-hatilah ketika berbicara, karena bisa menjadi doa.” Hal ini dialami oleh Kak Ega Diono pemilik tulisan dengan judul yang menarik ini.
Sepulangnya dari pembukaan
restoran Indonesia di Jepang, suami Kak Eka
mengatakan tujuan mudik bukan
karena kangen makanan Indonesia, soalnya
di Jepang juga banyak makanan Indonesia yang enak. Akhirnya kejadian deh, Kak
Ega sekeluarga tidak bisa mudik karena corona menyerang.
Beruntung di Jepang banyak
yang menjual makanan Indonesia. Kalau selama ini Kak Eka hanya membeli makanan
Indonesia saat bazzar, akhirnya sekarang mencoba
membeli ke produsen masakan rumahan. Ga disangka, total belanja Kak Eka dan
teman-temannya mencapai 30 kg!
Makanan yang dibeli berupa Gudeg Yogya, Bebek
Madura, Ayam Bakar Taliwang, Pempek dll. Kerennya, di Jepang hampir semua
masakan nusantara dijual loh, bahkan ada masakan yang kurang popular tapi
tersedia juga.
Pandemi mengubah cara berpikir tentang mahalnya makanan Indonesia
di Jepang. Jika sebelumnya lebih baik memasak sendiri, kini menjadi lebih rileks untuk jajan tanpa memikirkan
harga. Cukup pikirkan bagaimana agar timbangan tidak terlalu banyak naiknya.
Tapi sepertinya, masa pandemi memang saat yang tepat untuk menggendut bersama
bukan ? 😅
Anyway, saya cukup menikmati tulisan di buku ini. Hanya saja sebagai orang yang suka tulisan detail dan panjang, buku “Berdamai dengan Pandemi” ini terkesan serba nanggung. Saya lebih suka tidak terlalu banyak cerita tapi tiap kisah ditulis lebih detail dan rinci. Ini maslaah selera aja sih.
Misalnya, di cerita Mengatasi kecemasan Lansia di Panti Jompo, mungkin bisa diceritakan karakter lansia yang mengalami gangguan pendengaran ketika sedang melakukan video call. Bagaimana serunya Kak Nurul mengulang kata-kata yang tidak jelas, memberikan pengertian seandainya sambungan internet terputus dll. Pembaca akan mendapatkan "rasa" dari cerita tersebut.
Tapi mungkin konsep awal buku ini tidak seperti selera pribadi saya, teman-teman FLP Jepang ingin banyak kisah unik yang bisa dishare ke public.
Tertarik sama cerita Kak Ega Diono. Ternyata ada banyak yang jual masakan Indonesia di Jepang atau luar negeri lainnya mungkin ya. Tapi eh tapi tentu saja harganya sungguh membengkak jika dibandingkan dengan harga masakan di Indonesia.
BalasHapusaku dulu suka bawa buku juga, skrg gara2 hp sukanya apa2 di hp, termasuk baca buku. lebih ringkas. mbak wik biasa baca novel kali, klo pun "bertele2" di depan, tapi deskripsinya memancing imajinasi, gak ngalor ngidul. eh itu klo penulisnya hebat sih, atau minimal bukunya jatuh di tangan pembaca yg sesuai seleranya.
BalasHapusKalau naik kereta selama 10 jam, memang harus cari aktivitas seperti membaca buku dan lainnya. Di tempat saya jalur kereta pendek-pendek dan bisa ditempuh dalam 1 jam saja. Omong-omong, sepertinya bukunya menarik untuk membaca potret Jepang dari kacamata perantau Indonesia
BalasHapusMantaf Mbak tetap eksis menulis
BalasHapus